Di lereng bukit yang tidak sebegitu jauh dari perkampungan. Ada sebuah rumah kuno, besar, dan temboknya sudah mengelupas. Pagarnya pun juga sudah reot termakan rayap. Di salah satu cendela yang selalu terbuka, juga terdapat sarang spiderman yang makin menambah kesan bahwa rumah ini sudah lama ditinggal penghuninya.
Rumah tersebut amat kumuh dan korat-karit. Menurut beberapa orang di kampung, dulu rumah tersebut pernah ditinggali oleh sebuah keluarga harmonis dan elegant. Seorang pengusaha sukses dan seorang bidan sebagai pengurus rumah tangga. Mereka dikaruniai sepasang putri cantik yang lahir kembar. Alangkah bahagianya keluarga tersebut. Hidup serba berkecukupan dan menyenangkan.
Lantas mengapa rumah tersebut menjadi sekumuh dan semenakutkan seperti sekarang ini? Kemanakah orang-orang yang dulu pernah tinggal dirumah ini? Ahh sudahlah.
Kamila, seorang gadis kecil yang cantik, sederhana, namun ramah. Setiap berangkat dan pulang dari sekolah selalu melewati rumah di lereng bukit itu. Dan setiap dia melewati rumah itu matanya tidak pernah berhenti menatap setiap sudut rumah kuno itu. Batinnya selalu penasaran ingin masuk dan melihat-lihat isi rumah itu. Tetapi lagi-lagi dia mesti mengurungkan niatnya karena takut tidak akan bisa kembali.
Suatu saat Kamila melihat seorang perempuan tua yang rambutnya sudah mulai berubah warna. Perempuan ringkih yang parasnya masih terkesan ayu. Perempuan itu sempat menatap Kamila sedikit tersenyum saat pulang dari sekolah. Seketika itu juga Kamila berlari seperti tidak percaya bahwa perempuan itu adalah manusia. Itu pasti hantu, pikir Kamila.
Bruk!!!
“Loh loh nduk, kenapa to?” selidik sang ibu yang heran melihat putrinya tergesa-gesa masuk rumah tanpa memberikan salam. “Pelan-pelan minumnya, sayang” kata ibu mencoba menenangkan.
Kamila memeluk ibunya, sembari mengatur nafas. “Anu, Bu, ada hantu” rengek Kamila. “Kamila takut, Bu” tambahnya.
“Hahaa, Kamila tidak sedang ngelindur kan?” ejek ibunya. “Mosok, siang bolong gini ada hantu, nduk?” ibunya tertawa.
“Benar, Bu. Kamila tidak bohong, ada hantu di rumah kuno itu” ucap Kamila. “Rumah kuno, rumah kuno yang mana?” tanya ibu. “Di desa kita kan banyak rumah kuno” ibu mulai penasaran.
“Itu, Bu. Rumah kuno yang besar di ujung jalan” Kamila memeluk ibunya makin erat. “Tadi Kamila melihat ada hantu perempuan tua disana” tangannya menunjuk ke arah rumah kuno.
Seketika itu Ibu Kamila kaget, lebih kaget dari padanya. “Bu, kok ibu diam? Ibu tau siapa perempuan itu?” selidik Kamila yang penasaran. “Oh, tidak kok nduk. Sudah, tidak ada hantu di siang hari gini” Ibu Kamila melepaskan pelukan putrinya. “Ayo cepat mandi sana, baumu kecut, nduk” ucap ibunya. “Ibu tadi masak sambel tempe kesukaanmu” tambahnya. Kamila mengangguk lantas menuju kamar mandi sesuai perintah ibunya.
Namun ada yang aneh dengan ibu, seperti ada yang disembunyikan dari Kamila mengenai sesosok hantu perempuan itu.
Keesokan harinya Kamila ogah melewati rumah itu. Kamila lebih memilih jalan memutar meskipun jauh. Dia berharap dapat segera melupakan kejadian di rumah tua itu. Namun semakin dilupakan, bayangan perempuan tua itu makin terus dipikirkannya. “Siapa perempuan itu, apa pemilik baru rumah misterius itu?” pikir Kamila.
Dan anehnya semenjak kejadian siang itu, ibu makin sering kelihatan merenung, kadang juga menangis. Pernah suatu saat ku tanya tentang keadaannya yang mungkin sakit atau ada masalah lain. Ibu malah menyuruhku untuk tidak mengkhawatirkannya. “Ibu baik-baik saja kok nduk” begitu saja jawabnya.
Ini tidak bisa dibiarkan, pikir Kamila. Rasa keingintahuan membuat Kamila harus menjadi lebih berani. Akhirnya pada saat berangkat ke sekolah Kamila kembali melewati rumah itu. Di depan pagar Kamila clingak-clinguk mencari perempuan tua yang masih kelihatan ayu itu. Pintu rumah tertutup rapat, hanya cendela di sisi rumah itu yang terbuka. Namun kali ini cendela itu terlihat bersih. Bunga-bunga dan rerumputan juga kelihatan lebih rapi.
Kemana perginya perempuan itu? Mungkinkah dia masih tertidur? Sembari memikirkan segala kemungkinan yang ada. Tiba-tiba ada yang memegang pundak kanan Kamila. Dirabanya tangan itu sembari menoleh ke belakang. Seandainya benar perempuan hantu itu, Kamila sudah siap dengan kuda-kuda beladirinya.
“Assalamualaikum, Kamila. Mau berangkat ke sekolah ya, nak?” benar saja inilah perempuan tua itu. Kali ini dia menatap Kamila dengan senyuman yang sangat manis dan tulus. “I i iya mbah, eh bi. Waalaikumsalam” jawabnya masih dengan perasaan tidak percaya. “Jangan takut, saya bukan hantu. Uhuk uhuk uhuk” perempuan tua itu rupaya sedang sakit. Terlihat sekali dari batuknya yang sudah membuat dadanya sesak. “Pergilah, nanti kau terlambat” perintahnya. Kamila hanya mengangguk lantas pergi.
Kamila sekolah di lembaga pendidikan swasta di kampungnya. Kamila mempunyai banyak teman. Selain terkenal pintar, Kamila juga rendah hati dan tidak pernah sombong. Itulah sebabnya Kamila di sukai oleh banyak teman-temannya.
“Hey, ngelamunin apaan sih?” sapa Rohma. Rohma adalah sahabatnya satu kampung dan satu bangku. “Gak ada apa apa kok, Ma” jawabnya asal. “Aku itu jelas tau kalau kamu sedang memikirkan sesuatu. Eh kita itu sudah berteman sangat lama jadi ayo dong, ceritakan masalahmu. Masak kamu gak percaya sama aku” timpal Rohma panjang lebar. “Sudahlah ayo ke kelas” Kamila pun beranjak keluar dari kantin sekolah, diikuti Rohma yang semakin penasaran dengan tingkah sahabatnya hari ini.
Siang itu Kamila berjalan dengan santainya sepulang dari sekolah. Namun langkah Kamila terhenti. “Itu kan ibu. Kenapa ibu terlihat sangat patuh pada perempuan tua misterius itu? Ada hubungan apa ibu dengan perempuan tua itu?” kali ini Kamila benar-benar di buat bingung oleh keadaan ini.
Sesampainya di rumah, keadaan masih tetap saja seperti biasa. Ibu masih saja selalu melamun dan tidak banyak bicara. Kamila tidak berani untuk lebih jauh bertanya mengenai pertemuannya dengan perempuan tua itu. “Makanlah, lalu istirahat, jangan lupa sholat ya, nduk” perintahnya. Kamila hanya mengangguk dan tersenyum “Baik, bu!”.
Dan seminggu setelah itu, Kamila tidak pernah bertemu lagi dengan perempuan tua misterius itu. Kemana perginya, pikir Kamila. Pagar rumah kuno itu juga sudah di gembok lagi seperti dulu. Ada getaran yang entah mengapa sulit untuk diartikan. Getaran itu antara penasaran dan kerinduan.
Sekonyong-konyong Bu Farida menemui anaknya di sekolah. Dengan rentetan ucapan maaf diiringi air mata. Kamila kecewa namun tak pantas ia lakukan. Kamila ingin marah namun yakin azab akan menimpanya. Perihal secarik kertas yang ia genggam dengan erat. “Kenapa ibu tega melakukan ini semua pada Kamila?” tanya Kamila dalam tangisnya. Bu Farida hanya diam tak sanggup berkata apapun.
"Jakarta, hari ini.
Kamila, anakku.
Jujur, dapat bertemu kembali denganmu adalah kesempatan indah bagi ibu. Maafkan ibu, nak. Kau boleh marah dengan kenyataan ini, sebab itu adalah hakmu sepenuhnya.
Hari ini adalah hari terakhir yang sudah dokter tentukan mengenai hidup ibu. Ibu sudah berusaha menahannya demi kamu, Kamila. Demi melihatmu. Namun maaf, kali ini ibu harus benar-benar menyerah. Ibu sudah tidak kuat lagi hidup bersama penyakit ini, sayang.
Sebenarnya, ibu sudah menunggu saat-saat ini dengan sangat lama. Dimana kami akan bersama-sama melihatmu bahagia melalui surga. Ayahmu dan saudara kembarmu juga pasti sudah menantikan ibu disana. Kau benar-benar mirip dengan Kalima, kakakmu. Seandainya dia masih hidup, mungkin Kalima akan tumbuh secantik dan semanis dirimu.
Rumah, perkebunan, serta aset keluarga sudah ibu konsultasikan dengan pengacara kita. Semoga semuanya dapat kau manfaatkan dengan baik suatu saat nanti.
Hiduplah bahagia bersama Bibi Farida. Beliau sudah berkorban banyak untuk keluarga kita. Jagalah beliau, bahagiakan beliau, sayang. Kami semua mencintaimu.
Ibumu
Rosalina "
Kamila, anakku.
Jujur, dapat bertemu kembali denganmu adalah kesempatan indah bagi ibu. Maafkan ibu, nak. Kau boleh marah dengan kenyataan ini, sebab itu adalah hakmu sepenuhnya.
Hari ini adalah hari terakhir yang sudah dokter tentukan mengenai hidup ibu. Ibu sudah berusaha menahannya demi kamu, Kamila. Demi melihatmu. Namun maaf, kali ini ibu harus benar-benar menyerah. Ibu sudah tidak kuat lagi hidup bersama penyakit ini, sayang.
Sebenarnya, ibu sudah menunggu saat-saat ini dengan sangat lama. Dimana kami akan bersama-sama melihatmu bahagia melalui surga. Ayahmu dan saudara kembarmu juga pasti sudah menantikan ibu disana. Kau benar-benar mirip dengan Kalima, kakakmu. Seandainya dia masih hidup, mungkin Kalima akan tumbuh secantik dan semanis dirimu.
Rumah, perkebunan, serta aset keluarga sudah ibu konsultasikan dengan pengacara kita. Semoga semuanya dapat kau manfaatkan dengan baik suatu saat nanti.
Hiduplah bahagia bersama Bibi Farida. Beliau sudah berkorban banyak untuk keluarga kita. Jagalah beliau, bahagiakan beliau, sayang. Kami semua mencintaimu.
Ibumu
Rosalina "
Innalillahi wa innallillahi rojiun. Ibu, kenapa harus secepat ini. Ya Allah jaga keluargaku, hapuskanlah dosa-dosa mereka. Ayah, ibu, kak Kalima, aku juga mencintai kalian.