Sudah beberapa hari saya tak pernah lepas dalam gendongan sang Mama. Saya hanya bisa menangis dan terus mengepal secarik kain panjang yang berbalut di sekujur tubuhku. Sedikit gerah memang, namun suhu panas yang kualami belum juga reda. Sangat terlihat sekali siluet kecemasan yang menggantung di wajah wanita tangguh ini. Sekali-kali dia berlari kecil menuju wartel di dekat komplek, menekan beberapa nomor lantas berbicara entah dengan siapa. Kurasa, mungkin itu adalah Ayahku.
Beberapa jam kemudian jeritan pintu pagar rumah sedikit mengusik nyenyakku, Mama ku bergegas membukakan pintu. Agaknya mereka berdiskusi lirih. Saya pun sulit melanjutkan lelap tidurku. Terdengar suara gemericik air yang tertuang di dalam cangkir. Rupanya sikap tanggap istri kepada suami yang baru saja pulang kerja memang tidak pernah terlupakan. Seduhan kopi pahit itu terhidang di hadapan dan di sela-sela perbincangan mereka.
Diskusi di malam itu terasa sekali dampaknya. Tak lama setelah perbincangan panjang itu, Mama mengambil koper gede yang berada tepat diatas almari disamping rak sepatuku. "Apa yang dilakukan Mamaku?" fikirku. Hampir semua pakaianku dirapikan dan dimasukan kedalam koper tersebut, tidak tetinggal juga mobil-mobilan yang baru aja di belikan Ayahku saat kami mengunjungi Kebun Binatang Surabaya dua hari yang lalu.
Kayaknya Mama akan mengajakku pergi ke suatu tempat, jauh, namun "kemana?", fikirku kembali berjibaku. Ayah nampak sangat pulas sekali tidur di sampingku, terasa sekali hembusan nafas beliau menyapu sekujur selimut tebal ku yang bergambar Jerapah ini. Sementara Mama, terus sibuk mempersiapkan sesuatu.
Suasanya Surabaya pagi hari ini, berhasil membangunkan lelap saya lebih cepat. Disekonya saya dengan air hangat. Lantas Mama memakaikan jaket tebalku kembali, menggendong saya lantas pergi menemui Ayah di depan Jatim Expo Surabaya, tempat biasa Ayah memeras keringatnya dan memarkirkan Becak roda tiganya. Kami berlalu menyusuri Jalan Achmad Yani. Sementara koper yang tadi malam sempat diisi penuh dengan macam-macam pakaianku terus Mama pegang hingga kami tepat berada di depan Stasiun Wonokromo. Ayah memesan tiket lantas bur-buru menyerahkannya kepada kami. Kami berpelukan dan Mama mencium tangan Ayah. "Titip salam untuk Ibuk ya" ucap Ayah, Mama tak menjawabnya lantas mengangguk.
Tepatnya ketika saya berjalan meninggalkan usia yang ke empat. Saya harus rela melupakan keindahan Surabaya tempat lahir saya. Serta mulai berusaha hidup di lembar baru Kota Jember. Stasiun Wonokromo yang berada di Surabaya menjadi saksi kepergianku ke Kota Tembakau ini. Deraian peristiwa yang pernah saya ukir di Kota Pahlawan ini tidak pernah bisa terlupakan.
Sesampainya di Jember tepatnya di Desa Karangduren, terlihat seorang wanita sepuh yang nampak sedang menunggu kedatangan kami. Beliau menunggu dengan banyak harapan. Kedatangan seorang anak dan cucunya. Saya melihat ada raut kebahagiaan di wajah wanita sepuh itu, wajah yang mengekpresikan kerinduan terhadap orang yang dicintainya.
Sahabat, saya memang lahir di Surabaya, namun saya tumbuh dewasa di (Kota Tembakau) Jember. Cerita di atas merupakan kisah dari beberapa cerita saya dan keluarga, perihal berpindahnya saya dari Surabaya ke Jember. Ada hal kuat yang menyebabkan hal tersebut bisa terjadi. Salah satunya adalah jiwa kanak-kanak saya yang sering sekali sakit.
Konon menurut penuturan Orang Tua dan Nenek saya, sakit saya hanya bisa sembuh dengan satu cara. Apabila saya sakit di Surabaya, maka cara menyembuhkannya hanya dengan bertolak ke Jember menggunakan Kereta Api. Dan sebaliknya, saat saya sakit di Jember, maka obat mujarabnya adalah pulang kembali ke Surabaya juga dengan menggunakan Kereta Api.
Konon menurut penuturan Orang Tua dan Nenek saya, sakit saya hanya bisa sembuh dengan satu cara. Apabila saya sakit di Surabaya, maka cara menyembuhkannya hanya dengan bertolak ke Jember menggunakan Kereta Api. Dan sebaliknya, saat saya sakit di Jember, maka obat mujarabnya adalah pulang kembali ke Surabaya juga dengan menggunakan Kereta Api.
Dan pada suatu saat saya dan keluarga memutuskan untuk tinggal di Jember, menemani Nenek yang kian sepuh. Tidak terasa hidup di Jember begitu menyenangkan, walau tidak banyak fasilitas yang memenuhi saya, namun Insyaallah saya masih bisa terus bertahan dan survive untuk kedepannya.
Obatnya aneh.. tapi asyik, bisa jalan-jalan.. hehe
BalasHapusObatnya bikin kantong amblas ya Mas.
Hapuskalau sekarang. disuruh memilih jember sama surabaya. mas jaswan pilih mana hayo...? heheh salam kenal mas
BalasHapusPilih dua-duanya aja wes Mas.
HapusGak pilih-pilih lagi.
Ada yang berubah di blog ini. #liat kiri kanan...
BalasHapusAdanya sanak keluarga membuat kita mempunyai kesan indah terhadap suatu daerah.
Apanya yang berubah Nda, sama aja kok.
HapusSapa Bagi..
BalasHapus"Salam dari anak Kudus kota Kretek"
Mari saling berbagi
#diplomasikopi
Terimakasih.
Hapusjember itu indah bangettt...dulu hampir setiap tahun sekali ke jember,mas saya tinggal di jember soalnya sekarang ^^..kapan2 ke jember lagi ah,jalan2 terus kopdar ^^
BalasHapusBAP sudah di tandatangani Mbk, tinggal nunggu realisasi.
HapusSemoga segera terwujud.
dan aq pun pernah nginap dirumah teman di kota jember ^_^
BalasHapusOh ya, jadi bisa menikmati Jember dong.
HapusLucu dibagian luw sakit d'Surabaya obatnya dtng k'Jember naik kereta api begitupun sebaliknya. Salam knl dari sèrang
BalasHapusSalam kenal kembali Mbk.
Hapusada kesamaan nih...kalo aku pas sakit di Jkrt...tak bawa pulang kampung langsung sembuh mbuh..tanpa hrs ke dokter :D
BalasHapusKita sama #Tos dua tangan.
HapusMasing-masing kota punya ceritanya sendiri ya..
BalasHapuskalo aku Bandung-Yogya adalah kota istimewa :)
Betul sekali Mbk Sri.
HapusBandung Yogja sama Jember Surabaya kira kira sama jauhnya gak?.
itu agan waktu masih bayi apa udah sekolah :D
BalasHapusBukankah saya sudah terangkan di awal mas.
HapusKetika saya meninggalkan umur yang ke Empat.
Saatnya mendengarkan Kuch Kuch Hotahai.
BalasHapusHehee.. thank you Pak.
Kalau di Surabaya kangen nenek yang di Jember kalik. Dan sebaliknya. Kadang kan gitu. Hehehehe
BalasHapusOooh, jember. Papuma ya? :D
BalasHapusaneh, malah sangat aneh mas, obatnya harus naik kereta api pulak. mungkin ada dampak psikologi kali ya????
BalasHapusSaya lahir di Malang tapi waktu saya entah habis di mana, saya jarang di rumah he he he
BalasHapusBolehlah ya nanti kalau mudik lewat darat mampir kan lewat Jember....
saya ingin sekali dapat pindah dan menetap di kota yang sejuk dan agak sepi, gak seperti di jakarta saat ini, seumur hidup tinggal di sini hehe
BalasHapus