Aku berlari sambil sesekali tangan kananku mengusap ngusap ke dua mataku yang semakin banyak mengeluarkan cairan bening ini. Satu yang kuinginkan ketika momen itu datang, bahwa aku ingin menghapus segalanya dalam fikiranku. Namun entah kenapa rasanya begitu sulit?
Dipertigaan jalan ada seseorang yang melambai-lambaikan tangannya kepadaku. Siapa dia?, oh rupaya teman sepermainan yang biasa menemaniku berkeluh kesah. Kebetulan aku memang sangat membutuhkannya dalam suasana yang menyedihkan ini. Lalu dibawalah aku ke sebuah tempat yang sangat jauh dari perkampungan, sunyi, dingin, yang ada hanya suara berisik air yang mencucur deras dari bendungan tua nan kuat itu.
"Sekarang ceritakan apa yang sebenarnya terjadi" temanku mulai mengintrogasiku dengan menyodorkan secangkir kopi hitam tanpa mocacino.
"Kapan problem yang kuhadapi ini selesai?" sembabku mulai lagi. "Jujur aku sudah tidak kuat dengan semua ini" tambahku.
"Mana semangatmu, dan itu semua pasti ada alasannya bukan?, tuhan sengaja mengujimu karena dia terlalu cinta kepada umatnya" fikiranku mulai sedikit tenang. "Diluar sana masih banyak insan yang lebih berat cobaanya dari pada yang kamu alami sekarang, coba sedikit saja kamu renungkan!" tegasnya.
"Sekarang bangkitlah, kawan-kawanmu sedang menunggu senyum manismu, jangan biarkan mereka juga merasa apa yang kau rasakan. Tetaplah tertawa bersama mereka" sambil cangkir itu diangkat lalu diseruputnya.
"Memang benar apa yang kau ucapkan, orang tuaku marah karena memang beliau kurang puas dengan apa yang aku lakukan, namun sebagai anak, aku sudah berusaha untuk membuat mereka bahagia, sekalipun itu semua tidak ada artinya dimata mereka" aku mulai sedikit terbuka dengan sahabatku.
"Mereka hanya menginginkamu kembali lebih aktif dalam aktifitas rutimu, jangan terganggu dengan yang lain, itu saja" kawanku menengadahkan daguku "Ingat, mereka masih orang tuamu yang peduli sekali terhadap masa depanmu" dia melangkah sejengkal "Walau dirasa usahamu kurang maksimal" dia membalikkan muka.
"Lantas!" sambil ku pegang kepalaku
"Kamu harus terus mencoba dan kembali berjuang dan berusaha, buat mereka bangga dengan apa yang kau dapatkan, kembalikan senyum mereka" sahabatku memegang kedua pundakku sambil berkata "Kamu pasti bisa, ya kamu pasti bisa" sambil dia tersenyum agak lebar
Angin dari puncak gumuk mulai berhembus menerpa badanku, semakin menambah nuansa hatiku yang saat ini sedang merintih sedih. Mungkin angin sepoi yang baru saja lewat itu juga sedang terbawa dengan kesedihanku, sehingga dia hanya mampu menghiburku dengan hembusan kecil yang sesekali lewat di kanan dan kiriku. Juga burung cangak yang sedang bermandi sinar mentari sambil sesekali mencuri padi di sawah itu juga ikut memperhatikan aku dan temanku, mereka seakan juga ikut sedih namun mereka malu untuk mengucapkannya. Cabuk ikan di hamparan sungai juga senada, menari-nari, mereka bersautan dengan yang lain bergoyang lewat irama redaman sepi yang sengaja aku tuahkan kepada kawanku.
Dalam hati berkata "ayah maafkan keegoisan anakmu ini, yang terlalu banyak mengecewakanmu, hingga membuatmu marah kepadaku". Tetapi sebagai anak laki-laki yang sudah kau besarkan hingga sedewasa ini akan berjanji untuk tetap setia menemanimu hingga maut nanti memisahkan, ini sumpahku kepadamu.
Flash Fiction ini disertakan dalam Giveaway BeraniCerita.com yang diselenggarakan oleh Mayya dan Miss Rochma
Wah...wah...aku baru tau GA ini.
BalasHapusSukses mas bro...:-)
makanya jalan jalan dong
Hapusheheheheeee..........
terima kasih sudah ikutan GA beranicerita. :)
BalasHapusok mbk.
Hapusterimakasih banyak.
wah kok rajin bw sam................!!!>
BalasHapushehehe......
Hapusharus rajin dong, juga untuk konsis tulisnya.....
terimakasih ya
semoga sukses ikutan GAnya :)
BalasHapusterimakasih mbk anastasia
Hapussukses kembali buat anda
salam dari Jember
Sukses GA-nya ya... :)
BalasHapusTerimakasih mbk.
HapusGalaunya udah redam, belum? :)
BalasHapusWah kalau galau terus, tidak bisa nulis dong.
HapusMakasih kunjungannya